عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ.
Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”
Sekali ini aku menutup telingaku. Kata-kata Pak Ustadz masih terngiang jelas di benakku. Kucoba memejamkan mata, sekedar meredam perih yang kurasa. Surga itu dibawah kaki Ibu. Ah. Tahu apa Pak Ustadz tentang ibuku.
Aku melihat dengan mataku sendiri. Malam itu saat aku ingin pulang menemui ibu. Setelah sekian lama aku menimba ilmu di pesantren ini. Baru liburan kali ini aku bisa meluangkan waktu untuk pulang. Sebab, kebetulan tidak ada agenda apapun di organisasi yang ku ikuti. Rasa rinduku pada ibu teramat menggebu, namun sayang telak terpatahkan. Tanpa sengaja ekor mataku menangkap sosok bayangan di temaram lampu taman. Sepasang kekasih atau entahlah sedang bermesraan, silelaki membelai rambut kekasihnya, sepertinya wanita jalang. Astaghfirullaah. Aku mengalihkan pandangan, naluri aktivis dakwahku mengajakku terus beristighfar. Entahlah, apa lagi yang mereka lakukan.
Ibu??? Aku kaget, zikirku terhenti. Sepertinya aku kenal wanita itu. Gelap malam tak mampu menghalangi dan menutup mata hati ikatan ibu dan anak. Aku yakin betul. Dia ibuku. Sekali lagi kupandangi, namun kereta terus melaju. Hanya bayang semu yang tertinggal menerawang di mataku. Sisi lain hatiku, mencoba menabahkan. Dia bukan ibumu.
Tapi aku yakin.
Rumah ibumu jauh dari sini.
Siapa jamin dia ada di rumah sekarang.
Tapi ibumu tak pernah berpakaian seperti itu.
Iya, dulu. Saat aku masih tinggal bersamanya. Sekarang aku tinggal di asrama. Siapa tahu?
Sudah, cukup. Hentikan.
Aku menutup mukaku. Butiran bening terlanjur mengalir di pipiku. Aku tak ingin pulang. Aku benci ibu. Hatiku meraung- raung, mengalahkan raungan kereta api yang sayup tak kudengar lagi.
***
“Baik, sekarang coba kumpulkan tugas karangan tentang ibu yang Bapak tugaskan minggu lalu”
Semua santri segera mengumpulkannya kepada Ustadz Ramli, kecuali aku. Pak Ustadz menatapku.
“Nina, mana tugasmu?”
“Saya tidak mengerjakan, Pak”
“Kenapa?”
Aku menggeleng, mataku menunduk. “Maaf, Pak. Saya izin keluar dulu”
***
Sebulan sudah. Sampai surat itu datang kepadaku. Dari ibuku. Tanganku bergetar, haruskah kubuka? Tidak salahnya, bisik hatiku.
“Ninaku sayang. Mama kangen banget sama kamu. Sudah lama kita tidak bertemu. Mama ingin memberi tahu satu hal padamu. Sebentar lagi mama akan menikah. Kamu pulang yaa, sayang? Asal kamu tahu, mama gak akan nikah, bila kamu gak pulang. Pokoknya kamu gak perlu takut. Calon papa kamu nanti orangnya baik. Sebaik almarhum papa kamu. Kamu pulang yaa minggu ini. Mama kangen banget ingin memelukmu”
Mama,
Aku tak mau pulang. Aku tak ingin ketemu ibu lagi.
***
Hari ini sengaja aku jalan-jalan. Sekedar menghibur hatiku yang sedikit luka. Katanya ibuku hari ini menikah. Tapi aku tidak ingin menemuinya. Meski hatiku sebenarnya rindu. Sedikit perih memang.
“Nina, Kamu mau kemana?” tiba-tiba Andien memanggilku dari belakang.
“Ke Taman Kota” jawabku sambil berpaling ke arahnya. Namun tiba- tiba dari arah berlawanan sebuah motor melaju ke arahku. Aku tak sempat menghindar. Dan sekejab semuanya menjadi kabur.
“Aku dimana?”
“Tenang, Sayang. Kamu istirahat yaa” nampak ibuku tersenyum kepadaku. Namun matanya basah, di sampingnya ada seorang berpakaian putih. Pasti dokter.
“Ibu, kapan ibu kemari?”
“Tadi siang, Andien yang menelpon Pak RT. Pak RT itu pamannya Andien”
“Ibu, jadi menikah?”
Ibuku terdiam. Dia menatapku dan Pak dokter di sebelahnya kemudian menggeleng.
“Tidak jadi, Nin. Mama ingin Nina sembuh dulu. Mama ingin merawat Nina sampai sembuh”
“Jangan begitu, Bu, Nina baik- baik saja” aku menangis. Ternyata ibu sangat sayang kepadaku. Tak seharusnya aku marah dan benci kepadanya, bagaimanapun dia, dia tetap ibuku. Ibu yang melahirkan dan merawatku. Betapa besarnya dosaku. Aku lupa dialah yang menyuapiku ketika lapar dulu. Dia pula yang memandikanku, mengusap air mataku saat menangis dan memeluk erat tubuhku dengan deraian air mata bahagia saat aku gembira. Dia pula yang menyekolahkanku di pesantren sekarang ini. Aku baru sadar, dia jauh-jauh menyekolahkanku ke pesantren supaya aku tidak seperti dia. Dia ingin aku tumbuh menjadi orang yang mengerti agama. Tidak sepertinya. Aku menagis tersedu. Ingin kutumpahkan air mata ini dipundaknya. Namun infus ditanganku menghalangi untuk memeluknya. Ibuku mengerti. Dia menunduk dan lantas memelukku. Erat. Hangat. Aku menyayangimu, Ibu.
Aku memejam, meresapi kasih sayangnya. Ibuku menangis. Pikirannya membaur. Entah apa.
….. Nina, maafkan, Mama. Mungkin kamu tidak tahu apa yang selama ini mama lakukan untuk memberimu makan, juga untuk menyekolahkanmu. Tapi, mama juga berharap kamu tidak pernah mengetahuinya. Mama malu. Mama takut kamu kecewa pada mama. Mama telah terlanjur berdosa, kotor. Tapi, ketahuilah.Mama terpaksa melakukannya. Mama tidak ingin kamu menderita bersama mama dan lantas menjerumuskanmu juga. Mama ingin kamu berguna bagi agama dan tidak mengikuti mama. Kamu juga harus tahu, semua itu akan menjadi masa lalu mama yang tidak akan terulang lagi. Mama akan segera menikah……
“Bu, aku ingin melihat Ibu segera menikah”
“Tidak, sayang.”
“Kenapa, Bu?”
“Karena calon suami ibumu sendiri sekarang ini juga sedang sibuk, Nin”, Pak dokter ikut menyahut.
“Maksud, Pak dokter?”
“Sebenarnya, ini adalah calon papa kamu, Nin. Sebagai dokter, dia harus merawat kamu dulu sampai sembuh, baru kami menikah”
Aku, tak mampu bicara lagi. Pikiranku campur aduk antara gembira dan perasaan bersalah telah menunda perkawinan mereka. Namun aku terharu.
“Ibu, Nina sayang Ibu.”
Selesai.
==
Cerpen Mingguan | FLP Cabang Amuntai
Tema : Aku Cinta Ibu
0 komentar:
Posting Komentar